Mengapa MEPI

Usaha mendorong perilaku etis dan berintegritas dalam lingkup komunitas atau organisasi tidak dapat dicapai hanya dengan parameter hukum atau aturan yang berisi larangan atau perintah. Untuk menilai apakah sebuah tindakan itu etis dan berintegritas atau tidak, seringkali adalah dengan melihat apakah tindakan itu berada dalam parameter hukum atau aturan yang ditetapkan.

Tetapi, kunci keberhasilan dari usaha mempromosikan perilaku etis dan integritas seseorang atau sebuah kelompok masyarakat bergantung pada terpenuhinya persyaratan "normatifitas;" yaitu bahwa mempromosikan integritas tak bisa dikatakan berhasil jika tindakan yang muncul hanya merupakan produk dari "ketakutan" terhadap sangsi atau hukuman atas pelanggaran aturan (fear of sanctions), atau hanya karena agen moral telah berhasil diprogram secara mekanis atau melalui proses repetisi (pengulangan) sebagaimana robot yang menerapkan hukum atau aturan secara mekanis sesuai dengan tuntutan situasi.

Problem "kekosongan normatifitas" (lack of normativity) menunjuk pada ketiadaan pengertian yang memadai dikalangan mereka yang terkena atau berhubungan dengan hukum atau aturan atau norma etika atas pentingnya "pengetahuan mengapa" sesuatu tindakan itu salah atau benar. Apa yang dibutuhkan agar orang dapat berada pada posisi yang tepat jika hendak membuat penilaian dengan cara yang etis atau bermoral, reflektif dan bertanggungjawab adalah memberikan kapasitas untuk mengisi kebutuhan normatifitas ini. MEPI bertujuan mengisi kekosongan ini, setidaknya di kampus UGM.

Program MEPI diinisiasi oleh kantor Rektorat UGM di bawah koordinasi Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (WRPPM) untuk tujuan "menjaga dan meningkatkan kepercayaan publik (public trust) sebagai bagian dari tugas UGM menjalankan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Program MEPI menggarisbawahi pengertian bahwa integritas akademik adalah esensial dalam setiap keberhasilan cita-cita dan tujuan pendidikan, dan untuk keberhasilan misi setiap dosen, disamping memberikan sebuah landasan tentang perilaku yang bertanggungjawab bagi seluruh warga kampus, dan terutama bagi para mahasiswa kelak setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di UGM. Meskipun demikian, sasaran program MEPI adalah seluruh "civitas academika," bukan hanya mahasiswa, dan MEPI dimaksudkan untuk mempromosikan etika dan integritas secara agresif dan berintegritas dalam kehidupan kampus UGM. Pada tahap awal perkembangannya, MEPI menyiapkan instrumen pembelajaran melalui platform atau media web yang terdiri dari sejumlah norma dan standard etik untuk sejumlah topik atau tema yang dianggap relevan di UGM dan dunia pendidikan saat ini, dan masing masing tema akan diperuntukkan aplikasinya bagi 'society of practice' sesuai kebutuhan. Road-map program MEPI mengindikasikan bahwa standard-standard itu akan diperbaiki, untuk memastikan proses "improvement" secara terus menerus, melalui evaluasi berkala, dan kemungkinan penambahan tema atau topik pembelajaran sesuai kebutuhan melalu pelembagaan kontrol kualitas konten oleh "peer-review." Walaupun etika seringkali dikaitkan dengan penilaian mengenai moralitas pribadi atau individu, pengertian etika dalam konteks MEPI menunjuk bukan terutama sebagai "moralitas pribadi" (personal morality), tetapi sebagai "seperangkat rintangan normatif yang muncul dari keberadaan seseorang, melalui pilihan pilihan, sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri orang itu sendiri, perusahaan, organisasi atau kelompok usaha, misalnya, yang memiliki atau harusnya memiliki integritas tertentu, yang dapat dipahami sama dengan integritas individu, sebagai pencapaian tanpa akhir, sebagai proyek yang masih berjalan, sebuah tugas yang mengandung usaha terus menerus, jika apa yang telah diraih ingin dapat dipertahankan" (Wueste 2014).

Meskipun integritas merupakan konsep yang seringkali membingungkan dan kabur, integritas menghubungkan secara signifikan etika dan tindakan moral. Dalam arti ini, integritas dan etika berhubungan secara dinamik, yaitu bahwa yang satu dapat memperkuat dan memberdayakan yang lainnya. Bunyi teks hukum atau aturan dalam masyarakat seringkali menjadi penentu bagi ‘garis batas’ (boundary lines) perilaku para warganya. Perilaku etis didefinisikan sebagai perilaku yang menuruti atau sesuai dengan aturan-aturan atau hukum. Sementara perilaku berintegritas adalah melakukan apa saja yang dianggap benar, tidak peduli apa bunyi hukum atau aturannya. Jadi, secara ringkas, etika adalah perkara mematuhi aturan-aturan, hukum atau ketentuan, sedangkan integritas adalah perkara melakukan hal yang benar, tidak peduli apapun aturan atau hukumnya. Insentif utama bagi integritas individu adalah kepuasaan dalam menilai keberanian pada saat integritas sedang diuji. Dalam etika individu, jika orang tidak melewati batas dan berada dalam garis etika yang ditentukan, maka orang itu sudah dinilai sebagai orang yang etis atau beretika.

Karena itu, perilaku etis adalah perilaku yang pasif ketika tetap berada dalam garis aturan atau hukum dan dorongan utama bertindak atau berlaku etis adalah demi menghindarkan diri dari masalah. Akan tetapi boleh jadi bahwa seseorang berada dalam garis kode atau ketentuan etika, tetapi tidak mempunyai integritas. Sangat mungkin bahwa seseorang, organisasi, negara atau pemerintah dikatakan beretika, atau berperilaku etis, tetapi tidak memiliki integritas. Mengapa demikian? Sebagian orang hanya berusaha menghindari masalah, hanya karena alasan bahwa aturan-aturan atau hukum telah ditetapkan buat mereka. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak dituntut untuk berperilaku yang sama kelak jika mereka tidak dilarang. Integritas melibatkan ciri-ciri kepribadian atau sifat kepribadian dengan kedalaman yang lebih besar. Integritas yang dimiliki seseorang adalah gambaran tentang dirinya yang lebih lengkap—nilai-nilai, moralitas, kinerja, keberhasilan, kepercayaan dan sikap tak mementingkan diri sendiri dan sebagainya. Berbeda dengan etika, integritas tidak pasif tetapi aktif. Integritas menggapai batas di luar atau mengatasi pasifitas (kepasifan). Integritas adalah usaha untuk "menjadi" tanpa keluhan atau penyesalan diri. Penentu atau yang berhak menilai integritas seseorang atau sebuah komunitas adalah orang-orang lain, dan bukan ketentuan yang tertulis.

Program MEPI berangkat dari kepercayaan bahwa sebuah lingkungan kerja, unit kecil seperti Universitas dapat menjadi landasan kolektif (collective foundation) yang penting dan sangat menentukan untuk perkembangan integritas para individu di dalamnya. Meskipun sebaliknya juga bisa berlaku bahwa keberadaan para individu yang bekerja keras mengembangkan standard etika kemungkinan dapat menularkan prinsip-prinsip integritas pribadinya ke dalam lingkungan profesionalnya.

Tetapi MEPI melangkah lebih jauh, bahwa di Indonesia terutama adalah sudah mendesak untuk memahami sumber masalah atau kekacauan dari strategi pengembangan etika dan integritas yang telah terjadi selama ini. Salah satunya adalah kesalahapahaman yang meluas, meskipun tak sepenuhnya perlu ditolak, bahwa integritas dan etika hanya dapat dikenali praktek atau perwujudannya dalam bentuk rumusan "kode etik" atau "kode kehormatan." Misalnya lembaga atau profesi atau organisasi sosial tertentu umumnya telah menuliskan atau merumuskan secara eksplisit kode kehormatan atau kode etik yang mengatur atau menjadi panduan perilaku etika para warganya. Kode etik atau kode kehormatan ini menjadi panduan atau standard bagi praktek atau perilaku yang dapat dianggap berintegritas. Karena itu, etika seringkali dipahami dalam makna yang sama atau yang mirip dengan prinsip hukum atau aturan hukum (rule of laws). Implementasi etika nampak juga sering berjalan menurut tradisi hukum ini.

Program MEPI dirancang untuk untuk mempromosikan etika dan integritas secara agresif dan berintegritas. MEPI secara sadar memilih pendekatan yang berbeda dari pendekatan etika dan integritas yang konvensional dengan mengembangkan pendekatan yang agresif dan berintegritas (developing integrity aggresively and integritively) ini.

Menurut sejumlah ahli, pembangunan sikap etis dan integritas yang tinggi dalam sebuah masyarakat melibatkan sekaligus "ketrampilan" (skills), kesadaran (awareness) dan "keterikatan" (commitment) sebagai tiga persyaratan yang saling terkait bukan secara kebetulan, melainkan berjalan simultan untuk setiap usaha mempromosikannya. Menurut jalan pikiran ini, Integritas akademik umumnya dikelola dan dikembangkan melalui "tiga P," yaitu, policing, prevention dan promotion (lihat Wueste 2014: Cole dan Kiss 2000; Lancaster 2005). Dua yang pertama, policing and prevention, merupakan pendekatan instrumental, biasanya dengan menekankan sangsi yang semakin keras dan pemaksaan yang semakin kuat atas bentuk pelanggaran aturan dan etika. Dalam contoh kasus, misalnya, ketika pelanggaran etik atau integritas terjadi, dan apalagi jika kasusnya menyita perhatian publik, atau telah berubah menjadi semacam skandal yang dibicarakan luas, pendekatan instrumental ini umumnya berlaku di banyak Universitas. Biasanya kode kehormatan atau kode etika dirujuk sebagai standard penilaian untuk kasus pelanggaran etika atau integritas ini.

Berbeda dengan langkah konvensional itu, program MEPI didesain untuk memberikan perhatian khusus pada proses pembentukan dan monitoring rumusan kode etik di lingkungan kampus. Program MEPI menerima premis atau aksioma bahwa kode etik memiliki sekaligus sisi bajik dan sisi buruknya. Sementara sisi buruk dari kode etik sering terkait dengan rumusan sangsi yang kemungkinan atau sering dipasangkan dengan implikasi hukuman karena kegagalan melaporkan sebuah kasus pelanggaran etik, sisi bajik kode etik adalah mengajak kita untuk memperhatikan sesuatu yang dapat memperkuat rasa pemilikan atas tanggungjawab yang terinternalisasi dan pengertian tentang tanggungjawab pribadi. Vitalitas kebajikan kode etik bergantung pada kemampuannya untuk semakin membuka perspektif dan kesadaran orang tentang makna nilai nilai, dan tidak membloking atau menutupi pandangan mereka tentang nilai nilai etis atau integritas. Dengan kata lain, komitmen nilai-nilai yang seharusnya dilindungi oleh kode etik merupakan "sumber kekuatan" dari kode itu, tetapi administrasi dan pemahaman legalisme sering menjadi sumber penghambat kemujarabannya. Dapat dikatakan bahwa kebajikan yang melekat pada kode etik yang terakhir ini mengimplikasikan pengertian P (Promotion) yang lebih normatif, daripada instrumentalis, dan diargumentasikan lebih kaya dari sekedar pengertian "policing" dan "prevention" (Wueste 2014: 58).

Meskipun MEPI beranggapan bahwa kode kehormatan atau kode etik, termasuk aturan hukum tertulis atau kebiasaan tetap penting, namun perlu dipastikan bahwa para individu di kampus, dan para pengguna MEPI pada umumnya, dapat menyadari dan bersedia menangani pertanyaan yang lebih mendalam yaitu tentang "mengapa" prinsip etik tertentu diterima dan yang lain dianggap salah.

Program MEPI berangkat dari kepercayaan bahwa sebuah lingkungan kerja, unit kecil seperti Universitas dapat menjadi landasan kolektif (collective foundation) yang penting dan sangat menentukan untuk perkembangan integritas para individu di dalamnya. Meskipun sebaliknya juga bisa berlaku bahwa keberadaan para individu yang bekerja keras mengembangkan standard etika kemungkinan dapat menularkan prinsip-prinsip integritas pribadinya ke dalam lingkungan profesionalnya. Dalam arti ini, mempromosikan etika dan integritas berbeda dari sekedar mengajarkan etika dan integritas.

Meskipun MEPI dimaksudkan untuk mempromosikan, melalui usaha memperkuat integritas, MEPI menjalankan fungsi untuk membantu seluruh sivitas akademik (baik dosen, mahasiswa maupun karyawan) mendapatkan ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam rangka mengenali masalah-masalah etis dalam bidang tugas atau pekerjaan mereka masing masing, dan untuk pada akhirnya dapat mengatasi masalah etis yang dihadapinya secara efektif, reflektif dan bertanggungjawab. Ketrampilan (skills) dan pengetahuan (knowledge) ini dapat diajarkan. Karena itu usaha pengajaran menjadi bagian penting dari proyek MEPI, yaitu dengan menyiapkan dan mengevaluasi secara regular berbagai bahan dan modul pembelajaran berbasis web-site yang mengandung sejumlah topik atau tema yang terkait dengan problematik etika bagi sasaran pengguna (society of practices) di lingkungan kampus UGM. Tetapi, sementara program MEPI telah dan harus memusatkan perhatian, pada tahap awal dan sepanjang prosesnya, pada tujuan mengajarkan (teaching) isu isu etik dan cara menanganinya, MEPI juga dan terutama diarahkan untuk mendorong, dan memperkuat "kesadaran" (awareness) dan "keterikatan" (commitment) etis.

Pendekatan MEPI berbeda dengan program-program manajemen etik dan integritas konvensional salah satunya karena pendekatan ini mengambil pengertian bahwa integritas tidak melulu terbentuk dari kalkulasi hadiah (reward) dan hukuman (punishment), melainkan dari kesadaran normatif atas tanggungjawab yang tertanam (internalized responsibility); dengan kata lain, MEPI adalah program yang didesain terutama untuk memastikan bahwa kesediaan untuk bertanggungjawab muncul dari kesadaran dalam diri setiap warga kampus sendiri.